Tonaas Wangko LSM Minaesaan Tombulu Sulut
Johny Sondak
Minaesaan Tombulu merupakan salah satu Lembaga organisasi budaya yang ada di Propinsi Sulawesi utara Satu-satunya yang mempunyai suatu tujuan Misi yang mulia untuk melestarikan adat dan Budaya Minahasa yang saat ini sudah mulai memudar akibat perkembangan zaman dan mempunyai Visi menjaga kerukunan antar umat beragama di tanah Toar Lumimuut. PERKEMBANGAN JAMAN BISA SAJA BERUBAH TAPI ADAT DAN BUDAYA MINAHASA TAK AKAN PERNAH BERUBAH By : Ketua umum LSM Minaesaan Tombulu Sulut : Johny Sondak
Sabtu, 30 Juni 2012
Jumat, 29 Juni 2012
OPO-OPO
Berikut
tentang ‘opo-opo’ yang kini pengertiannya telah melenceng jauh dari
arti yang sebenarnya, kini istilah opo-opo dianggap oleh sebagian
besar generasi sekarang sebagai suatu perlakuan kerja sama antara
roh-roh jahat dengan setan dari naraka.
Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya juga telah dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai abad 21 ini.
Para leluhur kita itu yakin bahwa manusia di bumi ini ada yang membuatnya dan me-reka tahu pula bahwa manusia terdiri dari tubuh fana dan roh yang tidak dapat mati, yang belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat. Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.
Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh opo masuk merasuk pada seorang ‘Pakampetan’
Semua yang hadir melalui Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’ karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki ‘opo sembilan lutut’, berikut ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang dengan roda sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda atau Portugis) apa nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat “Menado’.
Sampai sekarang orang Minahasa bila hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan), jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.
Kembali tentang Opo-Opo kita, dari generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado pada waktu itu ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang lain.
Dari Opo-Opo sakti melalui para Tonaas atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin, jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan dilingkar pada pangkal lengan, paha dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup juga memanggil roh keluarga kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada banyak yang munafik, hanya untuk popularitas atau maksud lain, mengaku sanggup mengobati semua penyakit luar dalam dan untuk meyakinkan publik dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’. Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya. (catatan : istilah ‘DOTU’ berasal bah.Melayu bukan asli Minahasa).
Nenek moyang kita meskipun hidup dizaman batu, yang belum tersentuh ajaran agama atau budaya dari luar, tetapi sebagai machluk ciptaan Tuhan, seperti kita keturunannya juga telah dikaruniakan naluri dan kemampuan berpikir, kalau tidak, mana mungkin me-reka sanggup exist hidup dan berkembang hingga turun-temurun sampai abad 21 ini.
Para leluhur kita itu yakin bahwa manusia di bumi ini ada yang membuatnya dan me-reka tahu pula bahwa manusia terdiri dari tubuh fana dan roh yang tidak dapat mati, yang belum dipahaminya yaitu ajaran agama tentang adanya surga, naraka dan dosa, sehingga para leluhur kita berkeyakinan, roh orang mati akan tetap bergentayangan didunia. Yang pada masa hidupnya berperilaku baik menjadi roh atau opo yang baik, yang jahat akan tetap jahat. Pemahamannya bahwa ‘Opo Empung Wangko’ yang merajai semua Roh dan Opo telah menciptakan Opo baik dan Opo jahat dan para keturunan Toar-Lumimuut dapat memilih sesuai nurani mau jadi pengikut yang mana.
Seorang Tonaas dengan kemampuan mistiknya dapat berkomunikasi dengan opo-opo tersebut, ia sanggup memanggil roh opo masuk merasuk pada seorang ‘Pakampetan’
Semua yang hadir melalui Pakampetan dapat berkomunikasi dengan Opo-Opo, yang biasanya mula-mula memperkenalkan diri. Maka dari dialog tersebut kami dapat mengenal akan beberapa opo yang sakti(supra-natural), antara lain ‘Opo Siou Kurur’ karena badannya tinggi besar dan sanggup berjalan sangat cepat dijuluki ‘opo sembilan lutut’, berikut ‘Opo Don-dokambey’ dari Tonsea ke Watu Pinabetengan dengan menunggang kuda belang (bata-bata). Dan masyarakat Manado mengenal Opo Lolonglasut, Si Raja Wenang yang dina-makan ‘Tonaas Menandou’ (bahasa Tonsea, ‘menandou’ artinya ditempat jauh). Konon dahulu para leluhur dari Tonsea kalau hendak ke Wenang dengan roda sapi atau menung gang kuda, bila ditanya oleh bangsa pendatang (Belanda atau Portugis) apa nama tempat tujuan perjalanannya, oleh leluhur akan dijawab “menandou” yang diartikan oleh sipenanya bahwa kampung tujuan namanya “Menandou” kemudian disesuaikan dengan dialek orang barat “Menado’.
Sampai sekarang orang Minahasa bila hendak ke Manado akan berkata: ‘mange aki Wenang’ (Tonsea), ‘meros ti Wenang’ (Tombulu), ‘mae ki Wenang’ (Tondano). ‘mongem Wenang’ (Langoan), jadi sebenarnya Wenang adalah nama asli Kota Manado.
Kembali tentang Opo-Opo kita, dari generasi lebih muda antara lain yang dikenal sekitar pelabuhan Manado pada waktu itu ‘Opo Burik Muda’ si penggemar adu ayam, beliau salah satu anak buah Opo Lolonglasut dan masih banyak lagi Opo-Opo Sakti yang lain.
Dari Opo-Opo sakti melalui para Tonaas atau Pakampetan dapat diperoleh jimat-jimat berupa batu-batu cincin, jenis akar dll. yang dibungkus kain merah dan dilingkar pada pangkal lengan, paha dan pinggang untuk penangkal malapetaka, penyakit, kebal peluru, senjata tajam. Para Tonaas sanggup juga memanggil roh keluarga kita yang sudah me-ninggal dan si pakampetan yang kesurupan akan berperilaku dan suara yang sama de-ngan yang dipanggil. Namun sekarang ini, Tonaas dan Pakampetan sudah langkah, yang ada banyak yang munafik, hanya untuk popularitas atau maksud lain, mengaku sanggup mengobati semua penyakit luar dalam dan untuk meyakinkan publik dipakainya Kitab Suci sebagai media agar supaya tidak dituding iblis atau setan. Hal tersebut merusak image mengenai istilah ‘Opo-Opo’. Sekiranya ada ahli bahasa dan budaya Minahasa dapat meluruskan kembali dan merehabilitir arti kata luhur “Opo” pada proporsi sebe-narnya. (catatan : istilah ‘DOTU’ berasal bah.Melayu bukan asli Minahasa).
WATU PAHRUMEZAN DAN PAHZETAAN NE OPO TUMALUN, TOMOHON
Batu ini disebut batu kadera atau pahrumezan karena bentuknya sama dengan kadera dan dizaman leluhur waktu itu digunakan sebagai tempat duduk pada waktu beristirahat kalau melewati tempat itu dalam rangka berburu. Leluhur ini bernama Tumalun = orang yang tinggal di hutan dan pekerjaannya memburu binatang. Tumalun biasanya kalau melakukan perburuan biasanya ditemani oleh beberapa ekor anjing sebagai teman berburunya, dan seluruh wilayah hutan serta seluk-beluk isi hutan sudah dikuasainya.
Dalam hal ini bisa dikatakan orang yang menguasai hutan hampir di seluruh Malesung ini, dan ilmu tentang hutan juga dikuasainya. Tumalun bertempat tinggal di sebuah goa yang terdapat di wilayah gunung Mahawu beserta dengan beberapa ekor anjingnya. Pada waktu menjelajahi hutan biasanya sesampai di batu kadera tadi maka Tumalun melakukan peristirahatan sambil duduk dan mengamati wilayah hutan di wilayah ini.
Dari hal inilah maka tempat ini dinamakan “watu Pahrumezan di Tumalun”, atau batu tempat duduk dari
Tumalun ketika beristirahat, dan sampai zaman sekarang ini para tua-tua di kampung dari sejak dahulu sampai sekarang masih ada yang melakukan upacara ritual adat untuk penghormatan kepada sang penguasa hutan ini di tempat yang dimaksud tadi. Batu kadera ini sampai sekarang kita bisa jumpai yang terdapat di lereng gunung Mahawu yakni dikebun yang bernama kebun Limbaan yang artinya adalah suatu tempat yang lebih dari tempat-tempat lainnya. Dan bila kita ke tempat atau ke wilayah watu pahzaruan yang terdapat di wilayah nawanua kinaskas dekat dengan pekuburan leluhur (waruga) kira-kira berjarak + 500 meter dari tempat ini terdapat suatu meja dari batu, yang biasanya tempat meletakkan dari pada hasil buruan dan sebagai tempat ucapan syukur dari pada leluhur ini, yakni Tumalun waktu itu. Batu meja ini atau “watu pahzetaan ni Tumalun” ini sudah tidak jauh dari batu utama di tempat ini yakni batu 3 baku mangada (watu pahzaruan) yang biasanya ditempat ini daripada anak-anak Toar dan Lumimuut mengadakan pertemuan di zaman waktu itu, diantaranya yakni Pinontoan, Rumengan dan Soputan. Jarak dari batu 3 baku mangada kearah Utara hanya sekitar + 9 meter dari batu ini dan lokasi tempat batu-batu ini berada sekarang yang disebut kebun sarang. Demikianlah riwayat tempat-tempat baik sebagai tempat peristirahatan dan meja pahzetaan dari pada leluhur si penguasa hutan waktu itu yakni Tumalun yang sampai sekarang kita bisa jumpainya di kedua tempat tadi yang berada di wilayah Kinaskas atau kakaskasen sekarang.
(Sumber Data dan Informasi dari Minaesaan Tombulu Tomohon)
Senin, 25 Juni 2012
TIM INVESTIGASI LSM MINAESAAN TOMBULU SULUT
TIM LSM MINAESAAN TOMBULU SULUT DI WATU KAMEYA
Tim LSM Minaesaan Tombulu Sulut selesai
mengadakan investigasi situs cagar budaya di Kelurahan Sarongsong tadi
dini hari Minggu 24 Juni 2012 pukul 04.00 berlanjut ritual adat di watu
Kameya seperti terlihat pada foto TUAMA !!!
I Jajat u santi
I Jajat u santi
MATA AIR KAMEYA DAN KEBUN TAINGKERE
Mata air Kameya terletak di kelurahan Kakaskasen satu kecamtan Tomohon Utara, di perkebunan taingkere.Di waktu kameya, terdapat suatu batu dari dotu dari cina yang pertama-tama datang di tanah Minahasa. konon dotu dari negeri tionghoa itu bernama siumbun atau juga disebut dotu luo kong yang bisa jadi skrang disebut lokon, namuin orang tombulu mngenal dgan nma dotu umbun. leluhur atau dotu dri cina ini adlah orang yg brilmu tinggi dan kedatanganya di minahasa secra gaib stlah karema dtang d minahasa. konon dotu trsebut adlah sbgai slah satu panglima perang di negeri tionghoa, yg brtugas mngawal karema. dari cerita rakyat yg ada, dotu umbun diberikan perintah untuk mencari sumber air yg trletak di sekitar gunung empung dan gunung lokon pada zaman dahulu dan berdiam tinggal selama beberapa waktu di tmpat trsebut.
Kameya sndiri brasal dari kata Kai = Kami, dan Meya=meye = datang . Pada saat dotu umbun sampai di kameya trjadilah angin ribut angin brputar (bahasa tombulu Pulizan) , angin membokar tanah di sekitar kameya dan akhirnya mngeluarkan beberapa mata air (kembuar) yg sangat besar dan bnyar airnya. Ketika itulah Dotu Umbun trsebut mngambil air dan mandi di air yg telah keluar ini dan stlah hampir slesai mandi tiba-tiba muncul seorang putri dri khayangan dan ketikaDotu umbun mndengar dri tanda bunyi seekor burung kiskis yg menandakan kedatangan seorang putri tdi dngan secara tiba-tiba, maka secara spontan Dotu Umbun tiba-tiba berlari kearah utara dari tempat dimna leluhur ini mandi dgn maksud untuk mngambil pakaianya yang ditaruhn di situ karena leluhur ini masih dalam keadaan telanjan dan merasa malu dgan kedatangan putri trsebut.
Akhirnya sesampai dimana baju yg telah ditaruh tadi oleh leluhur trsebut tiba-tiba leluhur ini hilang secara misteri dan membentuk sebuah batu berupa seekor Kura-Kura .
Wilayah watu kameya ini juga trdapat batu yg berbntuk waruga yg merupakan batu dari istri Pinontoan yakni ambilingan yg hnya berjarak 1 langkah ke timur dari mata air ini begitu, pula seblah utaranya ada batu sbgai penutup waruga dan masih bnyak trdapat beberapa batu Tumotowa. Dari kisah ini sehingga Kebun di sna di namakan Kebun Taingkere karena asalnya pada waktu terjadi angin ribut dan berputar (Pulizan) maka trbongkarlah tanah yg berada di sekitar dan mngeluarkan mata air dan sebagian air yg keluar mngeluarkan warna kekuningan makanya di sebut "Taingkere".
Kameya sndiri brasal dari kata Kai = Kami, dan Meya=meye = datang . Pada saat dotu umbun sampai di kameya trjadilah angin ribut angin brputar (bahasa tombulu Pulizan) , angin membokar tanah di sekitar kameya dan akhirnya mngeluarkan beberapa mata air (kembuar) yg sangat besar dan bnyar airnya. Ketika itulah Dotu Umbun trsebut mngambil air dan mandi di air yg telah keluar ini dan stlah hampir slesai mandi tiba-tiba muncul seorang putri dri khayangan dan ketikaDotu umbun mndengar dri tanda bunyi seekor burung kiskis yg menandakan kedatangan seorang putri tdi dngan secara tiba-tiba, maka secara spontan Dotu Umbun tiba-tiba berlari kearah utara dari tempat dimna leluhur ini mandi dgn maksud untuk mngambil pakaianya yang ditaruhn di situ karena leluhur ini masih dalam keadaan telanjan dan merasa malu dgan kedatangan putri trsebut.
Akhirnya sesampai dimana baju yg telah ditaruh tadi oleh leluhur trsebut tiba-tiba leluhur ini hilang secara misteri dan membentuk sebuah batu berupa seekor Kura-Kura .
Wilayah watu kameya ini juga trdapat batu yg berbntuk waruga yg merupakan batu dari istri Pinontoan yakni ambilingan yg hnya berjarak 1 langkah ke timur dari mata air ini begitu, pula seblah utaranya ada batu sbgai penutup waruga dan masih bnyak trdapat beberapa batu Tumotowa. Dari kisah ini sehingga Kebun di sna di namakan Kebun Taingkere karena asalnya pada waktu terjadi angin ribut dan berputar (Pulizan) maka trbongkarlah tanah yg berada di sekitar dan mngeluarkan mata air dan sebagian air yg keluar mngeluarkan warna kekuningan makanya di sebut "Taingkere".
Selasa, 19 Juni 2012
KAWASARAN
Kabasaran adalah tari perang. Mengangkat atau memuliakan perang ke dalam karya estetika, itu memberi gambaran tentang masyarakat itu sendiri. Itu ungkapan dari watak dan nilai-nilai budaya masyarakat.
Ya, berperang memang diluhurkan sebagai krida sangat mulia bagi masyarakat yang gagah berani serta kokoh membela kebenaran dan keadilan. Dr. A.B.Meyer, seeorang peneliti sosio-budaya masyarakat Minahasa, dalam sebuah laporannya sampai menarik kesimpulan: Perang adalah bagian dalam format kebudayaan Minahasa lama!
Seni Tari Kabasaran pun mengabadikan ritual yang di masa lampau memang dilaksanakan
leluhur tou Minahasa setiap kali mereka hendak berperang. Tari Kabasaran sedemikian akrab dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minahasa lama. Tarian keprajuritan ini menyemarakkan hampir semua upacara dalam daur hidup manusia. Mulai dari kelahiran, mengusir roh-roh jahat, perkawinan, hingga pemakaman orang mati. Demikian pula untuk penjemputan dan pengawalan secara adat bagi petinggi pemerintahan ataupun tokoh masyarakat. Juga dalam mengantar para pekerja Mapalus menuju tempat kerja
SEJARAH WATU PINAWETENGEN-MINAHASA
Minahasa
merupakan salah satu bagian dari wilayah Prov. Sulawesi Utara, dimana
sebelum dinamakan Minahasa, wilayah ini dikenal dengan nama tanah
MALESUNG.
Keadaan
geografi tanah malesung terdiri dari pegunungan dataran tinggi serta
bukit-bukit. Menurut sejarah pada tahun 1428 menunjukan bahwa penduduk
tanah Malesung pemukimannya terpencar-pencar dan hidup berkelompok
sehingga satu sama lain tidak bisa berkomunikasi terlebih tidak ada
saling bantu membantu dalam hidup kebersamaan, hal ini sering terjadi
dikala para penduduk ini mempertahankan wilayahnya dari serangan /
pengacau yang datang seringkali gagal, demikian halnya pada saat mereka
mengolah pertanian atau lebih sering pada saat berburu selalu terjadi
pertentangan karena ada penduduk yang telah memasuki wilayah lain
sehingga masing-masing saling mempertahankan wilayahnya.
Menyadari
akan hal ini sering terjadi permasalahan maka oleh leluhur atau para
tonaas tanah malesung mencari suatu tempat untuk diadakan pertemuan para
pemimpin suku guna mencari solusi mengatasi masalah yang terjadi di
tanah Malesung, dan setelah mereka mencari tempat maka didapatlah suatu
tempat yang terletak disebuah bukit yang bernama bukit Tonderukan nama
lokasi ini ditemukan oleh J.G.F. Riedel pada tahun 1881 yang berdasarkan
ceritera rakyat disebut “ Watu Rerumeran ne Empung “ atau batu batu
tempat para leluhur berunding yang mana disitu terdapat sebuah batu
besar dan ditempat inilah berkumpul para pemimpin sub etnis Tou Malesung
berikrar untuk menjadi sastu yakni menjadi satu Tou Minahasa sebuah
kata yang berarti “ Mina “ (menjadi), “ Esa “ (satu) dalam perkembangannya sehingga tercetuslah menjadi MINAHASA.
Watu
Pinawetengan dalam sejarah sampai saat ini banyak penafsiran-penafsiran
yang timbul melalui penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti
yang antaranya mengataka bahwa Watu Pinawetengan itu adalah :
-
Tempat pertemuan para pemimpin Sub Etnis Minahasa untuk membagi-bagi Wilayah dan bahasa masing-masing etnis
-
Sebagai tempat pertemuan para pemimpin sub Etnis untuk bermusyawarah menjadikan tanah Minahasa
-
Sebagai tempat berunding para leluhur
-
Tempat berikrar untuk bersatu melawan gangguan dari luar seperti Tasikela (Spanyol) dll.
Melihat
beberapa pandangan tentang pengertian dan fungsi Watu Pinawetengan maka
dapat disimpulkan bahwa Watu Pinawetengan merupakan suatu tempat
berunding para pemimpin sub etnik yang ada di Minahasa untuk berikrar
bahwa sub etnik di Minahasa walaupun hidup berkelompok tapi berstu untuk
menghalau para pengacau dari luar serta membangun wilayah-wilayah yang
ada di Minahasa yang ditandai dengan coretan-coretan yang ada diatas
patu tersebut..
Watu
Pinawetengan sampai saat ini tidak akan dilupakan oleh Tou Minahasa
baik yang tinggal di Minahasa maupun yang di luar Minahasa karena tempat
ini merupakan legenda hidup masyarakat Minahasa yang memiliki nilai
sacral sehingga tidak akan hilang dari hati Tou Minahasa.
Pakatuan Wo Pakalawiren
WATU PAHRUMEZAN DAN PAHZETAAN NI TUMALUN, TOMOHON
Di wilayah kekuasaan Dotu Rumengan yakni di gunung Mahawu, terdapat
suatu batu yang berbentuk kursi atau kadera, tepatnya di kebun Limbaan.
Batu kadera (pahrumezan) ini sudah dari sejak zaman batu atau zaman
prasejarah keberadaannya sesuai dengan kehidupan leluhur waktu itu
dimasa lampau.
Batu ini disebut batu kadera atau pahrumezan karena bentuknya sama dengan kadera dan dizaman leluhur waktu itu digunakan sebagai tempat duduk pada waktu beristirahat kalau melewati tempat itu dalam rangka berburu. Leluhur ini bernama Tumalun = orang yang tinggal di hutan dan pekerjaannya memburu binatang. Tumalun biasanya kalau melakukan perburuan biasanya ditemani oleh beberapa ekor anjing sebagai teman berburunya, dan seluruh wilayah hutan serta seluk-beluk isi hutan sudah dikuasainya.
Dalam hal ini bisa dikatakan orang yang menguasai hutan hampir di seluruh Malesung ini, dan ilmu tentang hutan juga dikuasainya. Tumalun bertempat tinggal di sebuah goa yang terdapat di wilayah gunung Mahawu beserta dengan beberapa ekor anjingnya. Pada waktu menjelajahi hutan biasanya sesampai di batu kadera tadi maka Tumalun melakukan peristirahatan sambil duduk dan mengamati wilayah hutan di wilayah ini.
Dari hal inilah maka tempat ini dinamakan “watu Pahrumezan di Tumalun”, atau batu tempat duduk dari
Tumalun ketika beristirahat, dan sampai zaman sekarang ini para tua-tua di kampung dari sejak dahulu sampai sekarang masih ada yang melakukan upacara ritual adat untuk penghormatan kepada sang penguasa hutan ini di tempat yang dimaksud tadi. Batu kadera ini sampai sekarang kita bisa jumpai yang terdapat di lereng gunung Mahawu yakni dikebun yang bernama kebun Limbaan yang artinya adalah suatu tempat yang lebih dari tempat-tempat lainnya. Dan bila kita ke tempat atau ke wilayah watu pahzaruan yang terdapat di wilayah nawanua kinaskas dekat dengan pekuburan leluhur (waruga) kira-kira berjarak + 500 meter dari tempat ini terdapat suatu meja dari batu, yang biasanya tempat meletakkan dari pada hasil buruan dan sebagai tempat ucapan syukur dari pada leluhur ini, yakni Tumalun waktu itu. Batu meja ini atau “watu pahzetaan ni Tumalun” ini sudah tidak jauh dari batu utama di tempat ini yakni batu 3 baku mangada (watu pahzaruan) yang biasanya ditempat ini daripada anak-anak Toar dan Lumimuut mengadakan pertemuan di zaman waktu itu, diantaranya yakni Pinontoan, Rumengan dan Soputan. Jarak dari batu 3 baku mangada kearah Utara hanya sekitar + 9 meter dari batu ini dan lokasi tempat batu-batu ini berada sekarang yang disebut kebun sarang. Demikianlah riwayat tempat-tempat baik sebagai tempat peristirahatan dan meja pahzetaan dari pada leluhur si penguasa hutan waktu itu yakni Tumalun yang sampai sekarang kita bisa jumpainya di kedua tempat tadi yang berada di wilayah Kinaskas atau kakaskasen sekarang.
Batu ini disebut batu kadera atau pahrumezan karena bentuknya sama dengan kadera dan dizaman leluhur waktu itu digunakan sebagai tempat duduk pada waktu beristirahat kalau melewati tempat itu dalam rangka berburu. Leluhur ini bernama Tumalun = orang yang tinggal di hutan dan pekerjaannya memburu binatang. Tumalun biasanya kalau melakukan perburuan biasanya ditemani oleh beberapa ekor anjing sebagai teman berburunya, dan seluruh wilayah hutan serta seluk-beluk isi hutan sudah dikuasainya.
Dalam hal ini bisa dikatakan orang yang menguasai hutan hampir di seluruh Malesung ini, dan ilmu tentang hutan juga dikuasainya. Tumalun bertempat tinggal di sebuah goa yang terdapat di wilayah gunung Mahawu beserta dengan beberapa ekor anjingnya. Pada waktu menjelajahi hutan biasanya sesampai di batu kadera tadi maka Tumalun melakukan peristirahatan sambil duduk dan mengamati wilayah hutan di wilayah ini.
Dari hal inilah maka tempat ini dinamakan “watu Pahrumezan di Tumalun”, atau batu tempat duduk dari
Tumalun ketika beristirahat, dan sampai zaman sekarang ini para tua-tua di kampung dari sejak dahulu sampai sekarang masih ada yang melakukan upacara ritual adat untuk penghormatan kepada sang penguasa hutan ini di tempat yang dimaksud tadi. Batu kadera ini sampai sekarang kita bisa jumpai yang terdapat di lereng gunung Mahawu yakni dikebun yang bernama kebun Limbaan yang artinya adalah suatu tempat yang lebih dari tempat-tempat lainnya. Dan bila kita ke tempat atau ke wilayah watu pahzaruan yang terdapat di wilayah nawanua kinaskas dekat dengan pekuburan leluhur (waruga) kira-kira berjarak + 500 meter dari tempat ini terdapat suatu meja dari batu, yang biasanya tempat meletakkan dari pada hasil buruan dan sebagai tempat ucapan syukur dari pada leluhur ini, yakni Tumalun waktu itu. Batu meja ini atau “watu pahzetaan ni Tumalun” ini sudah tidak jauh dari batu utama di tempat ini yakni batu 3 baku mangada (watu pahzaruan) yang biasanya ditempat ini daripada anak-anak Toar dan Lumimuut mengadakan pertemuan di zaman waktu itu, diantaranya yakni Pinontoan, Rumengan dan Soputan. Jarak dari batu 3 baku mangada kearah Utara hanya sekitar + 9 meter dari batu ini dan lokasi tempat batu-batu ini berada sekarang yang disebut kebun sarang. Demikianlah riwayat tempat-tempat baik sebagai tempat peristirahatan dan meja pahzetaan dari pada leluhur si penguasa hutan waktu itu yakni Tumalun yang sampai sekarang kita bisa jumpainya di kedua tempat tadi yang berada di wilayah Kinaskas atau kakaskasen sekarang.
RIWAYAT KEHIDUPAN DARI PADA WURI MUDA (WURIK SOMBOR)
Pada waktu kedatangan bangsa Portugis di tanah Minahasa di zaman
dahulu, maka ayah dari pada Wurik Muda ini yang asli berkebangsaan
Portugis datang dan bertemu dengan ibunya Wurik pada suatu wilayah
kampung tua yang namanya sekarang Kinilow. Ketika bertemu akhirnya kedua
saling jatuh cinta dan akhirnya menikah. Dari pernikahannya ini
kemudian mendapatkan anak yang diberi nama dalam bahasa Portugis.
Ketika wurik muda sudah mulai remaja maka ayahnya mengajak berlayar ikut kapal Portugis menjelajahi dunia. Dari perjalanan inilah akhirnya Wurik muda mendapatkan ilmu beberapa bahasa Negara-negara yang sempat dikunjunginya selain bahasa-bahasa yang sudah diajarkan ayahnya. Dan memang seorang wurik muda cukup pinter dan lihai dalam pergaulan di kalangannya, juga seorang yang gagah dan tampan seperti ayahnya yang berkebangsaan portugis.
Setelah sekian lamanya merantau ke beberapa negara yang disinggahi kapal portugis yang ditumpanginya, Wurik Muda semakin dewasa dan akhirnya suatu waktu Wurik Muda pulang dan kembali ke kampung halamannya yang sekarang namanya Kinilow dimana ibunya tinggal dan sebagai tempat asal lahirnya. Ketika Wurik Muda pulang dan sampai di kampung ibunya sudah menikah dengan seorang yang cukup disegani dikampung ini, karena ibumnya adalah seorang yang cukup cantik di kampung, maka disuntinglah ibunya dari Wurik muda ini oleh seorang ketua di kampung ini dan cukup disegani karena ilmunya yang tinggi. Orang ini atau Ayah tiri dari Wurik muda bernaman Wurik Tua. Dari kehebatan ilmu yang dipegang dari pada Wurik Tua sehingga sangat disegani dikampungnya waktu itu. Nama “Wurik” diambil dari nama Ayah tirinya yang bernama “Wurik”, jadi Wurik Tua untuk ayah tirinya, sedangkan Wurik Muda untuk anaknya, yang dulunya Wurik muda diberi nama dalam bahasa Portugis. Di masa semakin dewasa wurik muda termasuk orang yang suka bergaul dikampung bahkan sampai keluar kampung, apalagi ketampanannya dan pinter berbahasa asing dari beberapa negara, maka dari itulah seorang wurik muda banyak dilirik oleh wanita-wanita cantik baik dikampungnya maupun di luar kampung.
Selain itu seorang Wurik Muda pinter berhitung dan juga ilmu dari ayah tirinya diturunkan kepadanya sehingga semakin dewasa Wurik Muda sering berganti-ganti wanita atau gadis-gadis cantik apabila dia menginginkannya. Jadi kehidupannya sukanya berkelana dari satu kampung ke kampung lain dimana bilamana dia inginkan, sampai-sampai di seluruh kampung yang dikunjunginya banyak orang mengenalnya dan cukup disegani apalagi ayahnya dikenal orang yang cukup berilmu, maka dari itulah Wurik muda terkenal dimana-mana apalagi dikalangan wanita atau gadis-gadis cantik. Keunggulan-keunggulan dari pada wurik Muda atau dalam bahasa Tombulu (Wurik Sombor) inilah selain tampan bertubuh tinggi besar, pinter berbahasa dari beberapa negara maupun suku-suku di Indonesia serta mempunyai ilmu yang diturunkan padanya dari ayah tirinya berupa pegangan yang bisa menghilangkan dirinya, kebal barang tajam, pinter berjudi dan pinter mengait para wanita/gadis muda serta pinter bela diri. Itulah yang namanya seorang Wurik Muda (Wurik Sombor) di zaman kehidupannya waktu itu. Namun perilaku dari pada Wurik Muda semakin lama dinilai orang tuanya sudah melebihi batas-batas norma maka orang tuanya melarangnya berbuat demikian atas perilakunya tersebut. Tetapi karena Wurik Muda tetap saja tidak mau dinasehati akhirnya hubungan antara ayah dan anak mulai renggang dan sering kali keduanya berbeda pendapat. Akhirnya kedua-duanya tidak bisa saling bertemu dan bila bertemu maka perselisihan akan terjadi. Akhirnya Wurik Muda selalu mengalah dan pergi apabila bertemu dengan ayahnya Wurik Tua.
Demikian pula para teman-teman maupun saudara-saudara dari Wurik Tua setelah mengetahui perilaku dari Wurik Muda maka mereka tidak menerimanya juga. Sebelumnya mereka sangat menyayangi Wurik Muda. Akhirnya Wurik muda berkelana sampai ke luar negeri ini dalam kurun waktu yang cukup lama karena bisa dan mahir berbahasa asing dan beliau cukup terkenal juga dimana dia mengunjungi tempat-tempat atau negara-negara maupun daerah-daerah yang ada di Indonesia ini terutama dipulau Jawa. Seorang Wurik muda biasanya berpakaian ala Portugis dengan khasnya dengan pakaian yang banyak kancingnya, bertopi orang Portugis/ pelaut dan bersepatu portugis pula dengan sebuah pedang disamping kirinya selalu selama bepergian. Hal ini merupakan kebiasaannya sejak ayahnya yang berkebangsaan Portugis waktu masih bersama-sama dengannya sampai dewasanya yang berkepribadian sama halnya orang Portugis. Seorang Wurik muda karena pergaulannya sehingga banyak temannya sewaktu dia hidup baik di wilayah Kinilow waktu itu maupun Kinaskas atau kakaskasen dan sekitarnya bahkan dimana dia datangi di wilayah atau tanah Minahasa ini bahkan sampai ke luar negeri pada masa kehidupannya.
Maka dari itu Wurik muda dimana-mana mempunyai anak buahnya beserta ajudannya sewaktu dia sudah dewasa dan dari pengawal-pengawalnya sudah dibekali dengan ilmu kesaktian daripadanya pula. Dizaman sekarang yakni antara kampung Kinilow dan Kakaskasen pada perbatasan dari kedua kampung ini kita bisa jumpai sebuah pohon damar yang besar dan rindang, kononnya menurut cerita di tempat ini merupakan tempat pertapaannya diwaktu itu, dan hingga sekarang masih ada beberapa Tua-tua atau para Tonaas di wilayah kedua perkampungan ini sering mengadakan ritual-ritual budaya untuk penghormatan dan maksud tujuan-tujuan tertentu. Sebetulnya ilmu kesaktian dari pada si Wurik Muda (wurik Sombor) ini cukup terkenal dikalangan masyarakat pada waktu itu seperti jaga diri (pahpakean /pakaian), pencarian/rejeki, cari jodoh dan sebagainya sampai pada penciptaan uang dan pengambilan benda-benda berupa pusaka dan sejenisnya.
Namun terkadang si Wurik Sombor sendiri memberi contoh yang tidak terpuji dihadapan orang-orang pada waktu itu dan justru dari pada inilah beliau sering ditantang dari pada pemuka adat baik dikampunyg maupun di luar kampung dimana dia berada, apalagi ayahnya tirinya sendiri tadi yakni si Wurik Tua. Jadi para leluhur di zaman itu sangat betentangan dengan perilaku dari pada wurik muda atas perilakunya yang terkadang sudah melewati batas norma-norma yang ada, padahal diantara para leluhur banyak yang segani kepiawaiannya, atas ilmu kesaktian yang didapatkan dari sang ayahnya, namun halnya dari kepiawaiannya inilah akhirnya menjadi kerenggangan dan keretakan hubungan baik dari pada teman-temannya sendiri, petua-petua dikampung bahkan ayahnya sendiripula. Selama perjalanan si wurik sombor ini dimasa hidupnya di beberapa wilayah yang ada di Minahasa beliau banyak menurunkan ilmu kepada orang-orang yang dijumpai dan sudah merupakan pengikutnya, tapi ilmu yang diturunkannya hanya sebagian kecil dari padanya
Sebenarnya seorang Wurik Muda adalah penurut dan sangat menghormati orang tuanya dan para tetua-tetua dikampungnya dan bahkan karena rajinnya beliau maka sering setiap ada permasalahan di kampung para tetua-tetua atau leluhur-leluhur yang lebih tua dari padanya waktu itu selalu memerintahkan padanya untuk diselesaikannya baik masalah adat dan sebagainya. Kepercayaan dari tetua-tetua ini dikarenakan ilmu yang ada padanya dinilai sangat sakti dan lebih tinggi dari pada mereka sendiri, maka dari itulah dimana beliau mengunjungi suatu wilayah beliau sangat disegani dan dihormati orang-orang di kampung itu, dan akhirnya lama kelamaan si Wurik Muda banyak pula yang tidak menerima atas perilakunya yang dinilai sudah tidak wajar lagi dengan norma-norma adat. Jadi itulah kehidupan seorang Wurik Muda (Wurik sombor) yang cukup dikenal dikalangan masyarakat di zamannya waktu itu.
Di wilayah Nawanua Kinaskas atau Kampung Baru Kakaskasen Tiga sekarang tidak jauh dari pekuburan para leluhur (waruga) ke arah Timur + 500 meter terdapat suatu batu berbentuk kepala Manguni yang kononnya merupakan tempat persinggahan dan peristirahatan dari si Wurik Sombor sewaktu beliau mengadakan perjalanan ke beberapa wilayah di Minahasa. Juga menurut cerita selain dari pada Pohon damar yang besar yang terdapat di kebun salugan yang merupakan batas kedua kampung yakni Kinilow dan Kakaskasen sekarang adalah tempat persinggahan dan pertapaan beliau bergitu juga halnya di tempat yang sudah disebut di atas yakni di batu kepala manguni sama halnya demikian. Batu yang berbentuk kepala manguni terletak tidak jauh dari 3 batu saling menghadap (watu Pahsaruan) yang berlokasi sekarang bernama kebun Sarang, termasuk kompleks perkampungan baru Kinaskas atau sekarang Kakaskasen Tiga. Di tempat inilah sampai sekarang masih banyak para tua-tua di kampung atau para Tonaas sering mengadakan Ritual adat untuk menghormatinya selain maksud tujuan-tujuan tertentu pula. Dan tidak jauh dari tempat ini yang hanya kira-kira 500 meter ke arah Barat terdapat kuburan (Waruga) dari pada si Wurik Muda (Wurik Sombor) ini.
Ketika wurik muda sudah mulai remaja maka ayahnya mengajak berlayar ikut kapal Portugis menjelajahi dunia. Dari perjalanan inilah akhirnya Wurik muda mendapatkan ilmu beberapa bahasa Negara-negara yang sempat dikunjunginya selain bahasa-bahasa yang sudah diajarkan ayahnya. Dan memang seorang wurik muda cukup pinter dan lihai dalam pergaulan di kalangannya, juga seorang yang gagah dan tampan seperti ayahnya yang berkebangsaan portugis.
Setelah sekian lamanya merantau ke beberapa negara yang disinggahi kapal portugis yang ditumpanginya, Wurik Muda semakin dewasa dan akhirnya suatu waktu Wurik Muda pulang dan kembali ke kampung halamannya yang sekarang namanya Kinilow dimana ibunya tinggal dan sebagai tempat asal lahirnya. Ketika Wurik Muda pulang dan sampai di kampung ibunya sudah menikah dengan seorang yang cukup disegani dikampung ini, karena ibumnya adalah seorang yang cukup cantik di kampung, maka disuntinglah ibunya dari Wurik muda ini oleh seorang ketua di kampung ini dan cukup disegani karena ilmunya yang tinggi. Orang ini atau Ayah tiri dari Wurik muda bernaman Wurik Tua. Dari kehebatan ilmu yang dipegang dari pada Wurik Tua sehingga sangat disegani dikampungnya waktu itu. Nama “Wurik” diambil dari nama Ayah tirinya yang bernama “Wurik”, jadi Wurik Tua untuk ayah tirinya, sedangkan Wurik Muda untuk anaknya, yang dulunya Wurik muda diberi nama dalam bahasa Portugis. Di masa semakin dewasa wurik muda termasuk orang yang suka bergaul dikampung bahkan sampai keluar kampung, apalagi ketampanannya dan pinter berbahasa asing dari beberapa negara, maka dari itulah seorang wurik muda banyak dilirik oleh wanita-wanita cantik baik dikampungnya maupun di luar kampung.
Selain itu seorang Wurik Muda pinter berhitung dan juga ilmu dari ayah tirinya diturunkan kepadanya sehingga semakin dewasa Wurik Muda sering berganti-ganti wanita atau gadis-gadis cantik apabila dia menginginkannya. Jadi kehidupannya sukanya berkelana dari satu kampung ke kampung lain dimana bilamana dia inginkan, sampai-sampai di seluruh kampung yang dikunjunginya banyak orang mengenalnya dan cukup disegani apalagi ayahnya dikenal orang yang cukup berilmu, maka dari itulah Wurik muda terkenal dimana-mana apalagi dikalangan wanita atau gadis-gadis cantik. Keunggulan-keunggulan dari pada wurik Muda atau dalam bahasa Tombulu (Wurik Sombor) inilah selain tampan bertubuh tinggi besar, pinter berbahasa dari beberapa negara maupun suku-suku di Indonesia serta mempunyai ilmu yang diturunkan padanya dari ayah tirinya berupa pegangan yang bisa menghilangkan dirinya, kebal barang tajam, pinter berjudi dan pinter mengait para wanita/gadis muda serta pinter bela diri. Itulah yang namanya seorang Wurik Muda (Wurik Sombor) di zaman kehidupannya waktu itu. Namun perilaku dari pada Wurik Muda semakin lama dinilai orang tuanya sudah melebihi batas-batas norma maka orang tuanya melarangnya berbuat demikian atas perilakunya tersebut. Tetapi karena Wurik Muda tetap saja tidak mau dinasehati akhirnya hubungan antara ayah dan anak mulai renggang dan sering kali keduanya berbeda pendapat. Akhirnya kedua-duanya tidak bisa saling bertemu dan bila bertemu maka perselisihan akan terjadi. Akhirnya Wurik Muda selalu mengalah dan pergi apabila bertemu dengan ayahnya Wurik Tua.
Demikian pula para teman-teman maupun saudara-saudara dari Wurik Tua setelah mengetahui perilaku dari Wurik Muda maka mereka tidak menerimanya juga. Sebelumnya mereka sangat menyayangi Wurik Muda. Akhirnya Wurik muda berkelana sampai ke luar negeri ini dalam kurun waktu yang cukup lama karena bisa dan mahir berbahasa asing dan beliau cukup terkenal juga dimana dia mengunjungi tempat-tempat atau negara-negara maupun daerah-daerah yang ada di Indonesia ini terutama dipulau Jawa. Seorang Wurik muda biasanya berpakaian ala Portugis dengan khasnya dengan pakaian yang banyak kancingnya, bertopi orang Portugis/ pelaut dan bersepatu portugis pula dengan sebuah pedang disamping kirinya selalu selama bepergian. Hal ini merupakan kebiasaannya sejak ayahnya yang berkebangsaan Portugis waktu masih bersama-sama dengannya sampai dewasanya yang berkepribadian sama halnya orang Portugis. Seorang Wurik muda karena pergaulannya sehingga banyak temannya sewaktu dia hidup baik di wilayah Kinilow waktu itu maupun Kinaskas atau kakaskasen dan sekitarnya bahkan dimana dia datangi di wilayah atau tanah Minahasa ini bahkan sampai ke luar negeri pada masa kehidupannya.
Maka dari itu Wurik muda dimana-mana mempunyai anak buahnya beserta ajudannya sewaktu dia sudah dewasa dan dari pengawal-pengawalnya sudah dibekali dengan ilmu kesaktian daripadanya pula. Dizaman sekarang yakni antara kampung Kinilow dan Kakaskasen pada perbatasan dari kedua kampung ini kita bisa jumpai sebuah pohon damar yang besar dan rindang, kononnya menurut cerita di tempat ini merupakan tempat pertapaannya diwaktu itu, dan hingga sekarang masih ada beberapa Tua-tua atau para Tonaas di wilayah kedua perkampungan ini sering mengadakan ritual-ritual budaya untuk penghormatan dan maksud tujuan-tujuan tertentu. Sebetulnya ilmu kesaktian dari pada si Wurik Muda (wurik Sombor) ini cukup terkenal dikalangan masyarakat pada waktu itu seperti jaga diri (pahpakean /pakaian), pencarian/rejeki, cari jodoh dan sebagainya sampai pada penciptaan uang dan pengambilan benda-benda berupa pusaka dan sejenisnya.
Namun terkadang si Wurik Sombor sendiri memberi contoh yang tidak terpuji dihadapan orang-orang pada waktu itu dan justru dari pada inilah beliau sering ditantang dari pada pemuka adat baik dikampunyg maupun di luar kampung dimana dia berada, apalagi ayahnya tirinya sendiri tadi yakni si Wurik Tua. Jadi para leluhur di zaman itu sangat betentangan dengan perilaku dari pada wurik muda atas perilakunya yang terkadang sudah melewati batas norma-norma yang ada, padahal diantara para leluhur banyak yang segani kepiawaiannya, atas ilmu kesaktian yang didapatkan dari sang ayahnya, namun halnya dari kepiawaiannya inilah akhirnya menjadi kerenggangan dan keretakan hubungan baik dari pada teman-temannya sendiri, petua-petua dikampung bahkan ayahnya sendiripula. Selama perjalanan si wurik sombor ini dimasa hidupnya di beberapa wilayah yang ada di Minahasa beliau banyak menurunkan ilmu kepada orang-orang yang dijumpai dan sudah merupakan pengikutnya, tapi ilmu yang diturunkannya hanya sebagian kecil dari padanya
Sebenarnya seorang Wurik Muda adalah penurut dan sangat menghormati orang tuanya dan para tetua-tetua dikampungnya dan bahkan karena rajinnya beliau maka sering setiap ada permasalahan di kampung para tetua-tetua atau leluhur-leluhur yang lebih tua dari padanya waktu itu selalu memerintahkan padanya untuk diselesaikannya baik masalah adat dan sebagainya. Kepercayaan dari tetua-tetua ini dikarenakan ilmu yang ada padanya dinilai sangat sakti dan lebih tinggi dari pada mereka sendiri, maka dari itulah dimana beliau mengunjungi suatu wilayah beliau sangat disegani dan dihormati orang-orang di kampung itu, dan akhirnya lama kelamaan si Wurik Muda banyak pula yang tidak menerima atas perilakunya yang dinilai sudah tidak wajar lagi dengan norma-norma adat. Jadi itulah kehidupan seorang Wurik Muda (Wurik sombor) yang cukup dikenal dikalangan masyarakat di zamannya waktu itu.
Di wilayah Nawanua Kinaskas atau Kampung Baru Kakaskasen Tiga sekarang tidak jauh dari pekuburan para leluhur (waruga) ke arah Timur + 500 meter terdapat suatu batu berbentuk kepala Manguni yang kononnya merupakan tempat persinggahan dan peristirahatan dari si Wurik Sombor sewaktu beliau mengadakan perjalanan ke beberapa wilayah di Minahasa. Juga menurut cerita selain dari pada Pohon damar yang besar yang terdapat di kebun salugan yang merupakan batas kedua kampung yakni Kinilow dan Kakaskasen sekarang adalah tempat persinggahan dan pertapaan beliau bergitu juga halnya di tempat yang sudah disebut di atas yakni di batu kepala manguni sama halnya demikian. Batu yang berbentuk kepala manguni terletak tidak jauh dari 3 batu saling menghadap (watu Pahsaruan) yang berlokasi sekarang bernama kebun Sarang, termasuk kompleks perkampungan baru Kinaskas atau sekarang Kakaskasen Tiga. Di tempat inilah sampai sekarang masih banyak para tua-tua di kampung atau para Tonaas sering mengadakan Ritual adat untuk menghormatinya selain maksud tujuan-tujuan tertentu pula. Dan tidak jauh dari tempat ini yang hanya kira-kira 500 meter ke arah Barat terdapat kuburan (Waruga) dari pada si Wurik Muda (Wurik Sombor) ini.
Langganan:
Postingan (Atom)